Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Pages

Blogger templates

dengan tulisan aku mencoba untuk bermanfaat, dengan tulisan aku mencoba berkarya

Categories

RSS

Dominasi Organisasi Masyarakat berbasis Islam dalam Ranah Politik Kekuasaan



Dominasi Organisasi Masyarakat berbasis Islam dalam Ranah Politik Kekuasaan
Rani Dwi Putri
Universitas Gadjah Mada
A.          Pendahuluan
Organisasi Masyarakat adalah salah satu dari sekian kelompok sosial yang berkembang di Indonesia. Dalam pratiknya, organisasi masyarakat yang berbasis agama cenderung banyak dan terus berkembang, terutama agama islam. Banyak diantaranya ormas-ormas yang sukses berkembang dengan terus bertambahnya anggota, misalnya Muhammadiyah, Nadatul Ulama, Forum Umat Islma, dan Front Pembela Islam. Dari beberapa ormas-ormas islam yang perkembangannya cukup bagus, Front  Pembela Islam (FPI) dan Farum Umat Islam (FUI) yang merupakan organisasi yang cukup menarik untuk dibahas dan dikulas tentang sepak terjangnya terurama dalam ranah politik dan segala konflik-konflik yang menyertai perjalanannya. Kedua organisasi masyarakat tersebut memang sering membuat kontroversi mulai dari hal besar sampai hal yang kecil pun banyak dipermasalahkan oleh kedua organisasi tersebut.
Dalam sejarahnya, Front Pembela Islam merupakan organisasi yang dibentuk oleh pemerintah dan TNI/POLRI  pasca reformasi dan merupakan cikal balal dari Pam Swakarsa1. Awal pembentukan Pam Swakarsa bertujuan untuk mencegah konflik vertikal yang merupakan bentukan dari Panglima Abri Jendral Wiranto. Dari awal sejarah, pembentukan inilah, FBI seolah punya legitimasi untuk ikut berperan dalam ranah politik. Sedangkan, dalam sejarah Forum Umat Islam memang tidak banyak dibahas, meskipun begitu dalam sejarahnya FUI bukan bentukan dari TNI ataupun POLRI akan tetapi FUI juga sedikit banyak ikut perperan dalam ranah perpolitikan.
Dalam pandangan masyarakat awan, Front Pembela Islam dan Forum Umat Islam memang dua dari beberapa ormas islam yang cukup frontal dalam setiap aksinya. Sehingga, banyak masyarakat yang memandang sebelah mata dua organisasi tersebut, sekalipun masyarakatnya  muslim. Pandangan masyarakat memang sangat beralasan dengan segala bukti aksi anarkis dan aksi uniknya mulai dari demo dengan merusak sarana umum sampai aksi uniknya dengan membuat gubernur tandingan di Jakarta. Terlepas dari aksi anarkis dan uniknya FUI maupun FPI adalah organisasi yang mengusung nafas-nafas islam dalam setiap tindakannya meskipun terkadang terlihat tidak sesuai akan tetapi, kedua ormas tersebut banyak juga melakukan hal-hal positif mulai dari bakti sosial hingga kegiatan keagamaan lainnya.
Di ranah politik sekalipun FUI dan FPI sering berperan aktif , meskipun bukan anggota aktif dalam legislatif maupun eksekutif. Akan tetapi, mereka aktif dalam mengkritik kinerja pemerintah yang mereka anggap tidak sesuai dengan kaidah islam dan merugikan rakyat. Peran aktif tersebutlah ormas-ormas tersebut seolah punya ruang tersendiri dalam ranah politik negeri ini, terutama Front Pembela Islam atau FPI dengan berbekal sejarahnya tersebut.
Berangkat dari sinilah penulis tertarik untuk membahas lebih dalam tentang peran dan aksi ormas-ormas islam lebih khususnya Front Pembela Islam dan Forum Umat Islam dalam ranah politik. Penulis menggunakan motede penulisan dengan menyajikan contoh kasus dan dianalis dengan menggunakan pendekatan kekerasan strukturan, dan simbolik
B.          Pembahasan
Aksi-aksi yang dilakukan FUI maupun FPI memang sangat menarik untuk dibahas dari aksi demonya hingga aksi-aksi unik lainnya. Baru-baru ini saja, FUI membuat geger para mahasiswa Yogyakarta dengan aksi pembubaran paksa pemutaran film Senyap. Dalam film tersebut membahas tentang sejarah pembunuhan masal anggota PKI sekitar tahun 1965 dengan menampilkan dialog para keluarga korban dengan pihak pembunuh PKI. Dengan alasan itulah, FUI merasa film tersebut tidak layak untuk dipertontonkan dan akan hanya menumbuhkan bibit komunisme dikemudian hari. Seperti yang dilansir dalam potongan berita Tempo.co  berikut,
TEMPO.CO, Yogyakarta - Acara nonton bareng film Senyap karya Joshua Oppenheimer di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) digeruduk 20-an orang pada Rabu malam, 17 Desember 2014. Mayoritas dari mereka mengenakan helm dan penutup muka saat memasuki halaman dalam kampus Fisipol UGM. Massa ini datang sekitar pukul 20.00 WIB. Saat itu, acara nonton bareng film Senyap yang dimulai sekitar pukul 18.30 WIB baru saja selesai. Pemutaran itu sebenarnya baru sesi pertama. Karena pengunjung membeludak, pemutaran film di pelataran Gedung BG Fisipol UGM rencananya diputar dalam dua kali sesi. Namun rencana tersebut batal. Massa berusaha mendekati lokasi pemutaran film sambil berteriak "Allahu Akbar" beberapa kali. Namun sejumlah polisi berseragam preman dan petugas keamanan UGM mencegah mereka.
Dalam berita terlihat jelas bagaimana aksi yang dilakukan oleh FUI yang memaksa pembubaran pemutaran film Senyap. Padahal jika ditelusuri Komnas HAM juga mendukung pemutaran film tersebut dengan mengeluarkan surat bernomor 044/Ang-SK/XI/2014 yang ditandatangani komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Muhammad Nukhoiron2. Lagi pula, pemutaran-pemutaran yang diadakan di beberapa universitas bertujuan untuk kebutuhan akademik yaitu untuk didiskusikan dan tidak ada tujuan selain itu. Sehingga banyak pihak terutama para mahasiswa yang kecewa terhadap sikap FUI yang seolah seenaknya membubarkan acara pemutaran dan diskusi film Senyap. Karena sikap FUI tersebut telah mengganggu aktifitas belajar mahasiswa dan hak mahasiswa untuk mengetahui sisi lain sejarah. Seharusnya, FUI tidak berhak untuk membubarkan acara pemutaran dan diskusi tersebut mengingat tempat pemutaran dilakukan di area kampus, di mana tempat para mahasiswa berhak mengetahui segala hal. Sehingga bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan FUI tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
            Selain aksi FUI tersebut, aksi yang dilakukan FPI juga tak kalah menarik. Salah satu kasus yang hampir serupa adalah saat FPI membubarkan waria di Depok pada tahun 2010 silam. Seperti yang dilansir dalam potongan berita New.detik.com  berikut,
Jakarta - Para "wanita" berambut panjang sontak berlarian. Beberapa di antara mereka tak sempat mengemasi barang-barangnya. Semuanya jejeritan ketakutan sembari keluar ruangan. Itulah pemandangan saat para waria yang mengenakan seragam warna merah tiba-tiba digeruduk oleh belasan anggota FPI, di sebuah ruangan di Hotel Bumi Wiyata, Jl Margonda Raya, Depok, Jawa Barat. Peristiwa ini terjadi pukul 10.15 WIB, Jumat (30/4/2010). Massa dengan emosi memukul-mukul meja dengan kayu panjang yang mereka bawa. Aksi itu merupakan bentuk protes mereka pada seminar yang diikuti para waria berbusana layaknya perempuan itu. Massa FPI membubarkan acara itu karena menduga acara itu akan menampilkan kontes pakaian seksi. Mereka sempat memukul sejumlah polisi yang mencoba menenangkan."Mereka menduga ada kontes, padahal kenyataannya tidak ada kontes. Pikirannya kalau kontes menampilkan pakaian seksi," kata Kasat Reskrim Polres Depok Kompol Ade Rahmat kepada detikcom, Jumat (30/4/2010).                                                                                                         
Dalam berita tersebut telah disebutkan bagaimana aksi FPI membubarkan acara seminar waria secara paksa. Tindakan tersebut tentulah menyalahi aturan yang ada, di mana mereka membubarkan acara tersebut secara paksa dan diikuti dengan aksi kekerasan. Di situ juga dijelaskan FPI seolah bertindak seenaknya tanpa konfirmasi dengan pihak yang bersangkutan. Mereka hanya bermodalkan dugaan tanpa dipastikan dengan jelas tapi tetap bertindak dengan membubarkan acara tersebut dan merusak fasilitas di sekitar tempat tersebut. Salah satu bukti tersebutlah mengapa FPI selalu dikenal sebagai ormas yang selalu arogan dan mengandalkan kekerasan dengan merusak fasilitas.
C.   Analisis
Dari dua kasus tersebut, bisa dilihat bagaimana peran ormas-ormas barbasis agama dalam ranah politik khususnya dari segi kekuasaan mereka dalam menentukan sikap.  Seperti yang dikatakan Jack H Nagel (dalam Miriam, 2008) tentang scope of power atau cakupan kekuasaan yang merujuk pada kegiatan, perilaku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan.  Dalam masalah ini, FPI dan FUI kekuasaannya mencakup pada perilaku serta sikapnya dengan seenaknya membubarkan suatu acara yang memang sudah mengatongi perizinan. Tindakan yang dilakukan FPI maupun FUI dengan aksi pembubaran paksa tersebut, seolah menandakan kedua ormas tersebut punya kekuasaan dalam menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilihat maupun dilakukan oleh kelompok tertentu. Padahal jika dilihat dari obyek yang dilarang tersebut tidak melanggar hukum dan ketentuan yang ada. Selain itu, ormas-ormas ini juga seolah punya hukum dan parameter sendiri dalam menentukan sesuatu sehingga yang tidak sesuai, mereka langsung bertindak untuk menghentikannya.
Jika dilihat dengan menggunakan pendekatan kekerasan tindakan FPI maupun FUI telah melakukan kekerasan simbolik, dan struktural. Pengertian kekerasan sendiri merupakan suatu tindakan yang menyakiti, melukai serta menghalangi baik dalam bentuk fisik, psikis, maupun akses dalam melakukan sesuatu.
Sedangkan dalam tindakan yang dilakukan FUI dan FPI mengandung kekerasan simbolik. Dalam pengertiannya kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang bukan berupa fisik tapi berupa tanda, simbol, atau makna-makna tertentu. Kasus diatas sudah dijelaskan bagaimana tindakan FUI dan FPI melakukan pembubaran acara secara paksa. Dalam kasus FPI  yang melakukan pembubaran paksa seminar waria di Depok, menandakan bahwa FPI secara tidak langsung melakukan suatu stereotip terhadap kalangan waria bahwa mereka identik dengan hal-hal yang berbau porno aksi. Selain itu, FUI dan FPI merupakan organisasi masyarakat yang membawa nama agama islam sehingga mereka membawa ajaran islam dalam organisasinya. Dengan segala tindakannya yang kurang mencerminkan ajaran-ajaran islam yang sesungguhnya, ini secara tidak langsung menimbulkan labeling kalau ormas islam pasti identik dengan kekerasan. Dan juga akan berdampak buruk pula pada citra agama islam yang selalu mengusung perdamaian. Kemudian, dalam setiap aksinya FUI maupun FPI selalu menyuarakan secara lantang nama-nama Tuhan seperti Allahu Akbar  ini juga merupakan suatu bentuk kekerasan di mana nama Tuhan yang seharusnya disuarakan dalam hal kebaikan tanpa kekerasan dan arogansi. Ini juga akan menimbulkan suatu citra buruk dan penyalahgunaan nama Tuhan untuk menutupi bentuk arogansinya. Dengan kata lain, seoalah mereka menggunakan nama Tuhan untuk dijadikan alat untuk menutupi arogansi dan untuk membenarkan aksinya.
Tak hanya itu, aksi dan tindakan FUI maupun FPI juga mengandung kekerasan struktural. Secara pengertian, kekerasan struktural merupakan suatu bentuk kekerasan di mana terdapat ketidakadilan  dalam penggunaan sarana prasarana atau ketidakmampuan dalam akses sarana yang disebabkan oleh suatu kebijakan sistem. Dalam hal ini, tindakan FUI dan FPI berupa larangan diselenggarakannya seminar maupun kontes waria dan larangan pemutaran film senyap ini juga mengandung kekerasan struktural.di mana FUI maupun FPI telah membatasi hak setiap warga untuk melakukan dan mengetahui  suatu hal dan itu tidak melarang hukum dan ketentuan yang ada. Pelarangan tersebut akan berdampak pada penghambatan masyarakat dalam berkarya dalam hal ini mahasiswa dan kelompok waria. Penghambatan dalam berkarya di sini berupa karya dalam bentuk gagasan, prestasi, maupun dalam bentuk ide. Seperti kita ketahui, larangan pemutaran film dan diskusi film senyap ini bisa menghambat proses mahasiswa dalam berajar beragrumen atau menganalisis suatu masalah atau bahkan menghambat pengetahuan mereka dalam hal sejarah.

D.     Penutup
Organisasi masyarakat berbasis islam memang sangat berkembang dalam negeri ini, kehadiran mereka sedikit banyak mempengaruh dunia politik kekuasaan. Dalam hal ini FUI dan FPI telah berhasil mendapatkan itu, tindakan-tindakan yang mereka lakukan seolah mereka punya ruang dalam menentukan sesuatu. Tindakan-tindakan tersebut banyak juga yang pada akhirnya merugikan masyarakat maupun kelompok tertentu. Tak kadang juga, tindakan tersebut mengandung kekerasan tak hanya berupa fisik tapi kekerasan simbolik maupun struktural.  Dan pada akhirnya menghambat akses suatu kelompok tertentu.



Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
1 http://www.islamtoleran.com .2014. Sejarah da nasal muasal FPI Front Pembela Islam  atau Front Polisi Islam. Diakses pada tanggal 03 Januari 2014.
2 http://brita.indo.com . 2014. Komnas HAM Mendukung Pemutaran Film Senyap. Diakses           pada tanggal 04 Januari 2015.
http://www.tempo.co/read/news/ . 2014. Massa Serbu Pemutaran Film Senyap Di UGM.  Diakses pada tanggal 04 Januari 2015.
http://news.detik.com/read . 2010. Seminar Waria Di Depok Digeruduk Massa FPI. Diakses         pada tanggal 04 Januari 2015.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS