ILMU
SOSIAL DASAR
Kebudayaan
Masyarakat Samin
Diajukan
sebagai tugas kelompok demi memenuhi
penilaian mata
kuliah Ilmu Sosial Dasar
Disusun Oleh :
1. Advina Risa W. (12/335818/SP/25436)
2. Firdaus Rizqi Azizi (14/365753/SP/26315)
3. Frevi Nurriyani (14/364724/SP/26180)
4. Manggiasih Tilotama T. B. (14/364699/SP/26167)
5. Kholis Dana
Prabowo (14/369578/SP/26483)
6. Nadia
Hardianti (14/369686/SP/26499)
7. Rani Dwi
Putri (14/365728/SP/25307)
8. Reva
yusmita (14/364594/SP/26132)
9. Reza Rano
Syahputra (14/364691/SP/26162)
10. Siska Anggraeni (14/364819/SP/26212)
11. Yunia Fatkhurohmah
(14/364719/SP/26177)
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
SOSIOLOGI
2014
Pengetahuan
Lokal dan Nilai yang Dianut Masyarakat Samin
Masyarakat Samin merupakan fenomena
sosial budaya yang sangat menarik untuk dibahas, karena mereka yang tetap memegang nilai kebudayaan tradisional masih
eksis dan bertahan di era modernisme. Keunikan masyarakat Samin tentang bahasa,
pola perilaku dan kepercayaan mengundang banyak tanggapan dari masyarakat di
luar Samin. Banyak dari masyarakat secara umum yang menganggap bahwa masyarakat
Samin aneh, ‘nyeleneh’, bahkan
ekstrimnya masyarakat Samin sering dianggap gila.
Masyarakat Samin memiliki pola
komunikasi yang unik, meskipun dalam keseharian mereka menggunakan bahasa Jawa,
namun bahasa Jawa yang mereka gunakan tidak seperti yang orang Jawa pada
umumnya gunakan. Misal ketika menanyakan nama, masyarakat Samin akan mengatakan
“Sapa pengaranmu?”. Dalam bahasa Jawa
pada umumnya, maksud dari kalimat ini adalah “Siapa sebutanmu?”. Namun, jika
mereka ditanya dengan bahasa Jawa yang pada umumnya seperti, “Sapa jenengmu?”(siapa namamu?), maka
mereka menjawab lanang (laki- laki)
atau wedok (perempuan). Tentu
penggunaan bahasa Jawa yang seperti ini sangat aneh bagi masyarakat Jawa pada
umumnya.
Dari kondisi seperti itu, maka muncul
sikap-sikap masyarakat Samin yang ‘nyeleneh’.
Pada awalnya sikap ‘nyeleneh’ itu
disengaja karena ia ingin bertingkah pura- pura gila di hadapan pemerintah
Belanda, namun kemudian hal yang dilakukan berulang- ulang ini mengalai
normalisasi dan menjadi pola hidup masyarakat Samin hingga sekarang.
Keunikan lain yang dimiliki oleh
masyarakat Samin adalah mereka sangat menghargai lingkungan alam sekitarnya,
mereka menganggap bahwa alam adalah ibu mereka. Mereka memperlakukan alam
sebagaimana mereka memperlakukan manusia. Hal ini menjadi sangat menarik
mengingat sikap arif terhadap lingkungan sangat jarang ditemukan di era modern
ini.
Pola hidup masyarakat samin tidak
terlepas dari kebudayaan yang eksis di tengah-tengah masyarakat, karena
sejatinya masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Menurut
Alvin I. Bertrand yang dikutip Suryansyah dan Suhubdy Yasin (1986) kebudayaan
adalah semua cara hidup yang dipelajari dan diharapkan, yang sama- sama diikuti
oleh para anggota dari suatu kelompok masyarakat tertentu.
Ciri khas masyarakat samin dalam
berinteraksi dan manjalani kehidupan sehari- hari juga tak terlepas dari sistem
pengetahuan lokal dan nilai- nilai yang dianut oleh masyarakat Samin. Menurut
Warren sistem pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang khas milik suatu
masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama. Sebagai hasil dari
proses hubungan timbale balik antara masyarakat dengan lingkungannya. Jadi,
pengetahuan adalah inti dari budaya pada suatu masyarakat yang diperoleh
melalui pengalaman hidup dan digunakan untuk menghadapi situasi tertentu. Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem
pengetahuan lokal adalah budaya lokal itu sendiri.
Faktor budaya sangat mempengaruhi
pola perilaku suatu masyarakat. menurut Durkheim yang dikutip Darmastuti (2005) faktor budaya terdiri dari nilai dan norma.
Nilai merupakan suatu konsep yang sangat abstrak yang dimiliki oleh setiap
individu dalam memandang dunia ini sehingga bisa menetapkan apa yang dianggap
baik atau buruk, benar atau salah, patut atau tidak patut (Darmastuti, 2005:
65). Dari nilai tersebut lahirlah norma- norma yang mengatur kehidupan suatu
masyarakat.
Fenomena Samin ini dianggap oleh penulis
sebagai keunikan suatu budaya yang sarat akan nilai- nilai tradisional dan tetap eksis di era modern. Dari sini
penulis ingin fokus pada keunikan- keunikan pola hidup masyarakat Samin yang
terbentuk dari pengetahuan dan nilai- nilai yang mereka anut.
Ø Pola Umum Masyarakat Samin
Masyarakat Samin adalah sebutan bagi mereka yang
mengikuti ajaran Samin atau disebut Saminisme, mereka biasa tinggal mengelompok
bersama di luar masyarakat umum serta membentuk komunitas di suatu wilayah
tertentu. Kata “Samin” merupakan sebuah
nama dari seorang penduduk yang bernama Samin Surosentiko. Samin lahir di Desa
Ploso, Kabupaten Blora Jawa Tengah pada tahun 1859. Samin adalah keturunan dari
Kanjeng Pangeran Arya Kusumowinahyu yang memerintah di Kabupaten Sumoroto. Pada
tahun 1890, saat Samin berumur 31 tahun dia mulai menyebarkan ajarannya, yakni
ajaran adam yang sampai sekarang masih menjadi pedoman bersikap dan bertingkah
laku masyarakat Samin. Kemudian Sa
min mendapatkan wahyu Kitab Kalimosodo.
Ajaran – ajaran Samin yang
masih
dilakukan oleh masyarakat Samin adalah: “Aja drengkisrei , dohwen, kemeren,
tukarpadu, bedhogcolong, begal kecu aja dilakoni, apa meneh kutil jupuk, nemu
wae emoh” maksudnya adalah jangan berbuat jahat, iri hati, bertengkar mulut,
merampok mencuri dan menjambret, menemukan barang yang dijalan yang bukan
miliknya tidak mau.
Prinsip ajaran Samin pada hakikatnya
adalah menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan manusia yang termuat dalam
agama yang dianut oleh mereka yakni Agama Adam. Dimana di dalam ajaran adam
tersebut masyarakat Samin diberi tuntunan dan bimbingan untuk melakukan
perbuatan yang baik dan jujur , tidak boleh mencuri , bertnggung jawab serta
meyakini adanya karma. Orang–orang luar biasa menyebut pengikut samin dengan
sebutan masyarakat samin walaupun sebenarnya masyarakat samin sendiri tidak
suka dikatakan “wong samin”. Sebab mereka pikir menyebut kata samin merupakan
hal yang tidak sopan karena samin merupakan nenek moyang mereka selain itu nama
samin juga dikonotasikan dengan arti perbuatan yang tidak terpuji , diantarnya
adalah: dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering
membantah dan menyangkal
peraturan yang telah ditetapkan, sering keluar masuk penjara, sering mencuri
kayu jati, perkawinannya tidak dilakukan menurut tata cara agama islam.
Orang Samin lebih suka disebut “sedulur
sikep atau wong sikep” karena bagi mereka wong sikep memiliki arti sebagai
orang–orang yang bertanggung jawab. Mereka tidak pernah membeda-bedakan agama
yang dianut oleh manusia karena bagi mereka semua manusia itu saudara. Jadi
walaupun ada orang luar Samin yang membutuhkan bantuan mereka tetap membantunya
dengan sepenuh hati dan menjunjung tinggi semangat gotong royong.
Keunikan dari masyarakat Samin lainnya
adalah mereka selalu berusaha untuk selalu menghargai dan menjaga alam. Mereka
tidak pernah mengeksploitasi alam secara berlebihan dan hanya mengambil apa
yang ada di alam sesuai kebutuhan sehingga alam tidak akan rusak dan tetap
terjaga kelestariannya. Masyarakat Samin biasa hidup dengan kehidupan yang
sangat sederhana. Ciri khas lainnya dari masyarakat Samin adalah mereka tidak
bisa berbahasa Indonesia dan pakaian yang mereka gunakan juga berbeda, yaitu
laki- laki menggukan pakaian berwarna hitam lengan panjang tidak berkerah, celana
dengan panjang sampai dibawah lutut serta menggunakan ikat kepala. Sedangkan
perempuan menggunakan kebaya serta kain dengan panjang dibawah lutut.
Ø Produksi Pengetahuan
Pada umumnya produksi pengetahuan
masyarakat Samin tidak terlalu terlihat dan tidak seperti masyarakat pada
umumnya. Pengetahuan yang mereka miliki sangat terbatas. Hal ini dikarenakan
masyarakat Samin hanya menganut ajaran yang diurunkan dari leluhur mereka dan
hasil proses interaksi sosial dalam bermasyarakat. Secara pengertian (dalam
Soerjono, 2012) Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca indranya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (belief), takhayul (superstitions), dan penerangan-penerangan yang keliru (misinformations).
Pengetahuan yang masyarakat Samin
miliki tentu saja juga bukan berupa pengetahuan ilmiah karena mereka tidak
mengalami masa sekolah. Mereka menganggap bahwa sekolah tidak penting karena
kepandaian tidak hanya diperoleh dari sekolah saja. Sehingga masyarakat luar
Samin banyak yang beranggapan bahwa orang Samin itu bodoh, tidak berpendidikan,
kolot dan suka menentang peraturan yang ada.
Walaupun pengetahuan yang mereka
miliki sangat terbatas, terdapat beberapa pengetahuan yang masyarakat Samin
terapkan pada aspek-aspek kehidupan mereka.
1. Pengetahuan tentang Agama
Orang Samin mengetahui bahwa semua
agama itu baik, tidak ada yang buruk.
Karena setiap agama selalu mengajarkan kebaikan kepada siapapun,
manusia, hewan, ataupun tumbuhan. Namun, saat mereka ditanya apa agama mereka,
pasti jawabannya adalah agama Adam. Sehingga, mereka hanya berperilaku baik
kepada sesama tanpa melakukan ibadah dan menyembah kepada Tuhan. Perilaku yang
mereka lakukan ini berdasarkan ajaran dari Samin Surosentiko yaitu “Agama iku gaman, Adam pangucape, man gaman
lanang” artinya, agama adalah senjata atau
pegangan hidup (Titi dkk, 2003: 23).
2.
Pengetahuan
tentang Alam
Dari pengetahuan mereka, alam
lingkungan merupakan sesuatu yang memberikan kehidupan sehingga harus dijaga
keberadaannya. Orang Samin menganggap alam adalah biyungnya (ibu), sebab dengan adanya alam manusia dapat hidup dan biyunglah yang membuat manusia hidup
sampai sekarang. Walaupun pengetahuan masyarakat samin tidak ilmiah, tetapi pengetahuan tentang gugon tuhon masih sangat melekat dan
diperhatikan oleh mereka. Contohnya,
mereka tidak memperbolehkan membunuh ular di sawah. Apabila dipandang dari sisi ilmiah,
kelangkaan ular akan memperbanyak tikus yang menjadi hama tanaman, sebab ular
yang berfungsi sebagai pemakan tikus menjadi langka.
3.
Pengetahuan
tentang Lingkungan
Pengetahuan masyarakat Samin
tentang lingkungan fisik, seperti tanah, air, dan hutan, berbeda dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat umum. Bagi masyarakat Samin yang
sebagian besar berprofesi sebagai petani, tanah adalah barang yang paling
berharga karena hidup mereka dari bertani dan bercocok tanam. Mereka
memanfaatkan alam seperti menebang pohon atau menggunakan air hanya secukupnya
saja, tidak menggunakannya secara berlebihan agar kondisi alam tetap terjaga
dengan lestari. Dalam menjaga keasrian hutan, jika ada orang yang menebang
pohon, maka orang itu harus menanaman pohon juga. Mereka hanya diperbolehkan menebang pohon jati yang berukuran cukup
besar, dan dilarang menebang pohon jika masih berukuran kecil.
4.
Pengetahuan
tentang Flora
Pengetahuan flora yang dimiliki
masyarakat Samin ada dua, yaitu tanaman yang ditanam di sekitar pekarangan
rumah, dan tanaman yang ditanam jauh dari pemukiman (di sawah). Mereka sangat
mengenal berbagai tanaman sayuran, tanaman perindang, tanaman
obat-obatan/apotik hidup, tanaman untuk pagar hidup, tanaman untuk pupuk
tradisional dan lain sebagainya. Setiap rumah mereka berpagar pohon tehtehan. Tanaman
yang ditanam di sekitar tempat tinggal diantaranya tanaman lamtoro, pohon
pisang, mangga, pepaya dan segala macam tanaman bumbon. Sedangkan yang ditanam
di sawah adalah tanaman jenis sayur-sayuran dan palawija. Selain
itu, mereka juga paham betul tanaman jenis apa saja yang baik ditanam pada
musim kemarau dan musim hujan. Pengetahuan yang mereka miliki mengenai
musim sering disebut dengan ilmu titen. Ketika hewan gareng pung mulai bermunculan menandakan bahwa
musim kemarau akan datang, sedangkan ketika ada angin kencang dan udara panas
pertanda bahwa musim hujan hampir tiba.
5.
Pengetahuan
tentang Fauna
Pengetahuan masyarakat Samin
tentang fauna sangat terbatas karena mereka hanya mengetahui jenis fauna yang
sering mereka lihat dilingkungan sekitar. Pada dasarnya mereka mengenal dua
macam fauna, yaitu fauna yang dibudidayakan, dan fauna yang tidak dibudidayakan.
Fauna yang dibudidayakan seperti sapi, kerbau, ayam, kambing. Mereka mengetahui
manfaat hewan-hewan tersebut. Sapi dan kerbau dapat digunakan untuk membajak
sawah, kambing dapat dimanfaatkan dagingnya, serta ayam dapat dimanfaatkan
daging dan telurnya untuk dikonsumsi. Sebagian besar masyarakat Samin
memelihara ayam karena lebih mudah memeliharanya. Sedangkan fauna yang tidak
dibudidayakan seperti, ular, tikus, serangga, kadal, dan sebagainya.
Hewan-hewan itu tidak dibudidayakan karena dapat merusak atau bahkan dapat
membunuh tanaman yang ditanam oleh petani.
Ø Nilai-Nilai dalam Masyarakat Samin
Nilai budaya merupakan sebuah dasar
yang dianggap penting dari budaya tersebut sehingga melekat dan dijalankan
dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam kebudayaan masyarakat Samin sendiri juga
banyak mengandung nilai-nilai luhur yang dipertahankan oleh masyarakatnya
hingga sekarang ini. Budaya Samin sendiri tidak sendirinya ada, Samin
Surosentiko adalah tokoh dibalik tercipta dan berkembangnya budayaSamin. Dalam setiap
ajaran dan keyakinan yang dianut oleh Samin Surosentiko yang dianggap unik ini
banyak mengandung nilai-nilai falsafah.
Kebudayaan masyarakat Samin memang
sangat beragam dan unik mulai dari cara berkomunikasi, berinteraksi,
berpakaian, hingga cara mereka memperlakukan alam. Dari segala keberagaman yang
unik itu banyak sekali nilai-nilai yang luhur yang dipercayai dan
dipertahankan. Meskipun tak jarang proses akulturasi dan perkembangan zaman
membuat mereka tak sefanatik dulu tapi nilai-nlai yang ada masih tetap
dipertahankan.
Dalam pola bahasa masyarakat Samin
sendiri yang dianggap nyeleneh, dan
kadang tidak sesuai dengan bahasa masyaraakat Jawa pada umumnya. Akan tetapi,
dibalik cara berbahasa mereka banyak mengandung nilai-nilai mendalam. Misalnya,
bahasa yang sangat seringdiucapkan oleh masyarakat Samin adalah “Tepangaken kula jeneng lanang pengaran
Sampan” yang berarti “perkenalkaan nama saya laki-laki sebutan Sampan”.
Tata bahasa seperti ini sangat berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya, dalam
memperkenalkan diri tanpa menyebutkan “jeneng
lanang” (nama laki-laki) atau“pengaran”
(sebutan) dan biasanya langsung menyebutkan
“jeneng kula Sampan”. Perbedaan ini bukan tanpa alasan, jika dicermai lagi
tata bahasa yang mereka gunakan banyak mengandung falsafah mendalam.
Nilai-nilai yang terkandung dalam tata bahasa Samin merupakan salah satu bentuk
perlawanan mereka dalam melawan Belanda.
Selanjutnya, keunikan nilai dalam
kebudaayaan masyarakat Samin juga ditemukan dalam cara mereka memperlakukan
alam. Masyarakat Samin yang sering disebut sebagai Sedulur Sikep ini sangat mengagungkan alam. Mereka mengganggap alam
adalah bagian dari hidup mereka juga. Alam bagi mereka sama seperti manusia
yang juga harus diperhatikan. Walaupun, sebagian besar bekerja sebagai petani
tapi cara-cara yang dilakukan tidak merusak alam. Nilai yang terkandung di
dalamnya sangatlah jelas bahwa alam adalah bagian dari hidup mereka. Sehingga
mereka sangat menjaga kelestarian dan kebutuhan alam. Nilai-nilai ini sampai
sekarang masih dipegang teguh oleh masyarakat Samin. Terbukti dari kasus
pembangunan pabrik semen yang katanya akan memanfaatkan salahsatu gunung Kapu
di daerah Pati dan masyarakat Samin sangat menolak rencana tersebut karena
mereka menganggap hal tersebut akan merusak alam.
Selain itu, dalam berpakaian
masyarakat Samin menggunakan pakaian berwarna hitam dan untuk laki-laki
mengenakan celana hitam selutut. Pakaian berwarna hitam sebagai penanda
kerendahan hati. Celana hitam selutut menyimbolkan masyarakat Samin sebagai petani.
Masyarakat Samin menganggap petani sebagai profesi mulia dan tidak mau
berdagang. Mereka menganggap berdagang tidak sesuai dengan ajaran Samin
Surosentiko dimana berdagang identik dengan penipuan. Pada pertemuan dalam
masyarakat Samin di daerah Sukolilo posisi duduk sudah diatur. Mereka
menggunakan posisi tempat duduk berbentuk oval. Pemimpin menempati kursi
diujung oval dan kursi barisan pertama ditempati untuk pria yang berusia tua.
Barisan kedua untuk pria dan muda dan barisan terakhir untuk wanita dan
anak-anak. Urutan ini menandakan kekuasaan berbicara dalam pertemuan dimana
laki-laki dahulu baru diikuti wanita.
PENUTUP
Indonesia
sebagai negeri yang disatukan oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dapat
dikatakan mempunyai beranekaragam ras, suku, agama dan budaya. Ribuan suku
berada di seluruh penjuru nusantara. Berbeda-beda namun tetap satu, perbedaan
yang mencolok juga terletak pada aspek kebudayaan. Budaya merupakan ciri khas
yang dijadikan simbol pengenal dari pemilik kebudayaan itu sendiri. Salah satu
dari sekian banyak suku di Indonesia, yang memiliki keunikan tersendiri adalah
suku Samin yang berada di Blora, Jawa Tengah. Suku Samin kaya akan kebudayaan
dimana itu merupakan warisan leluhurnya dan masih dilestarikan hingga kini.
Fenomena
masyarakat samin tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, produksi pengetahuan
dan nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Keberadaannya hingga saat ini,
bisa dikatakan bukti akan kekuatan
kebudayaan yang ada di dalamnya, dimana masyarakat sangat berperan dalam
pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan itu sendiri. solidaritas intern
masyarakat yang sangat kuat juga membantu dan berperan aktif dalam menjaga
eksistensinya hingga era modern ini.
Terlepas
dari perilaku yang unik dan terkadang sulit dimengerti oleh masyarakat umum,
keberdaan masyarakat Samin sangat dibutuhkan. Selain sebagai contoh masyarakat
yang masih memegang budaya luhurnya, keberadaan masyarakat Samin dapat menjadi
objek kajian yang akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
Kita
sebagai generasi muda, harus memandang suatu perbedaan menjadi keberagaman yang
indah. Jadikan keberagaman sebagai pemersatu atas keunikan ciri khas yang
dimili oleh setiap komponen di dalamnya. Seperti Suku Samin, keunikan dan ciri
khas yang ada di Suku Samin bukanlah suatu hal yang aneh atau hal yang harus
kita menjadikannya suatu permasalahan yang berarti.
Daftar
Pustaka
ü Buku
Mumfangati, Titi. Dkk. 2004. Kearifan Lokal di lingkungan Masyarakat
Samin Kabupaten Blora Jawa
Tengah. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Darmasyah, Dkk. 1986. Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha
Nasional.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
RajaGraafindo Persada
ü Jurnal
Sugihardjo,
dkk. 2012. Strategi Bertahan dan
Strategi Adaptasi Petani Samin
Terhadap Dunia Luar. Vol. 8 No. 2
Februari 2012 : 51 – 182. . Diakses
pada tanggal 27 Desember 2014.