Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Pages

Blogger templates

dengan tulisan aku mencoba untuk bermanfaat, dengan tulisan aku mencoba berkarya

Categories

RSS

Fakta Sosial “Durkheim” Sebagai Teori Positivistik



METODE PENELITIAN KUANTITATIF
KAJIAN BUNUH DIRI DALAM POSITIVISTIK


Nama Kelompok       :          
Fauziah Putri Septiana (14/365821/SP/26324)
                                                Firdaus R.A.               (14/365753/SP/26315)
Kholis Dana Prabowo (14/369578/SP/26483)
Mico Pandhu S.          (14/365864/SP/26329)
Rani Dwi Putri            (14/365728/SP/26307)
                                                Siti Nuraniyah             (14/365739/SP/26311)

Dosen Pembimbing   :
         Deshinta Dwi Asriani, S.Sos. MA

UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
SOSIOLOGI
2015




Fakta Sosial  “Durkheim” Sebagai Teori Positivistik

Emile Durkheim adalah satu dari beberapa tokoh sosiologi dengan pusat perhatiannya pada hal-hal yang bersifat makro. Pusat perhatiannya berkisar pada sistem yang mempengaruhi tindakan individu. Teori yang paling terkenal dari bapak yang lahir di Epinal, Prancis ini adalah tentang fakta sosial. Durkheim (1895/1982) menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah berupa studi atas fakta sosial (Gane, 1988 ; Gilbert, 1994)1. Fakta sosial diartikan sebagai struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa aktor (Ritzer, 2014:81). Durkheim juga membagi fakta sosial menjadi dua kategori yaitu  fakta sosial material seperti teknologi, hukum, perundang-undangan dan fakta sosial nonmaterial terdiri dari norma, moral, atau budaya.
Dari studinya yang paling fenomenal adalah studi kasusnya mengenai tingkat bunuh diri di berbagai kelompok. Dari hasil studi kasus tersebut maka Durheim dapat memperkuat teori yang dia bangun sehingga teori fakta sosial termasuk dalam positivistik. Mengapa demikian?.  Untuk menjawab pertanyaan yang ada, perlu kita galih lebih dalam lagi mengenai apa yang dimaksud dengan positivistik.
Kata positivis pertama di populerkan oleh bapak sosiologi kita yaitu August Comte yang terkenal dengan 3 tahap perkembangan manusia teologi, metafisis, dan positiv. Positivistik sendiri merujuk pada fenomena sosial yang harus menggunakan teknik ilmiah sama sebagaimana yang digunakan pada ilmu alam (Ritzer,2014:15). Positivistik bisa juga disebut sebagai sebuah mahzab di mana akarnya berasal dari fenomena-fenomena yang umum dan berulang-ulang dalam masyarakat yang nantinya akan menghasilkan sebuah generalisasi dari fenomena tersebut. Sehingga dapat dikatakan jika positivistik berangkat dari logika perpikir deduktif yaitu dari hal umum menuju hal yang khusus.  Di mana positivistik merupakan awal dari lahirnya penelitian kuantitatif yang menggunakan data nominal dari fenomena yang ada di masyarakat.
Dari pemaparan tersebut dapat kita jelaskan lebih detail mengenai alur teori fakta sosial Durkheim dapat dikategorikan sebagai teori positivistik. Seperti yang kita ketahui bahwa studi bunuh diri yang dilakukan Durkheim merupakan cara bagaimana teori dihubungkan dengan suatu studi kasus yang berkembang di masyarakat. Durkheim mengamati fenomena bunuh diri seseorang yang dikaitkan dengan faktor kondisi sosial kolektif yang ada disekitar pelaku bunuh diri. Durheim juga mengakui jika memang individu mempunyai alasan pribadi dalam melakukan bunuh dir. Akan tetapi, alasan tersebut tidak begitu dominan dalam menjelaskan masalah bunuh diri yang ada. Sehingga Durkheim tidak memusatkan perhatiannya pada sebab mengapa individu melakukan bunuh diri tapi lebih mengkaji pada perbedaan jumlah bunuh diri setiap negara (misalnya antara agama satu dengan agama yang lain). 
Dalam penelitiannya, Durhkeim menyimpulkan 4 jenis bunuh diri di mana hal tersebut dipengaruhi oleh dua fakta sosial yaitu sistem integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk pada kuat atau lemahnya suatu hubungan antara yang satu dengan yang lain. Di mana Durkheim mengasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat integrasi maka semakin rendah tingkat bunuh diri yang ada. Durkheim menyebut ini dengan Bunuh diri Altruistis di mana bunuh diri dilakukan ketika tingkat integrasi sangat kuat. Misalnya seorang teroris dengan anggapan mati syahidnya dan bunuh diri yang dilakukan oleh para pengikut pendeta Jones. Selanjutnya, Durkheim menyebut dengan bunuh diri Egoistis di mana bunuh diri dilakukan karena tingkat integrasi rendah sehingga tingkat bunuh diri cenderung tinggi. Di sini Durkheim melihat pada kelompok masyarakat yang setiap individunya memiliki interaksi yang rendah.
Kemudian, Durkheim melihat dari faktor regulasi. Regulasi ini bertindak pada persoalan perturan-peraturan yang ada di masyarakat. Durkheim menyebutnya dengan bunuh diri Anomik yaitu bunuh diri yang dilakukan karena tingkat regulasi yang rendah. Kemudian bunuh diri Fatalistis di mana tingkat bunuh diri yang ada dilakukan karena tingkat praktik regulasi yang kuat.
Dari sinilah kemudian Durkheim dapat memperkuat teori yang ia bangun dengan penelitiannya tentang fenomena bunuh diri di mana fenomena tersebut pada umumnya di asumsikan sebagai masalah pribadi.  Dari fenomena tersebut Durkheim menggeneralisasikan bahwa fakta sosial yang ada di masyarakat sangat berpengaruh dalam kehidupan setiap individu sehingga menjadi pusat kajian sosiologi. Di mana fakta sosial tersubut mampu mengontrol, mengatur, menentukan kehidupan individu dalam masyarakat. Dari penjelasan tersebutlah mengapa teori fakta sosial dikategorikan sebagai teori positivistik. Teori tersebut berangkat dari suatu fenomena di masyarakat dan di perkuat dengan suatu observasi atau pengamatan dari masalah yang tumbuh di masyarakat.

Daftar Pustaka
Ritzer, George dan Douglas Goodman. 2014. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Giddens, Anthony, dkk. 2004. Sosiologi Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta:          Kreasi Wacana.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pengetahuan Lokal dan Nilai yang Dianut Masyarakat Samin



ILMU SOSIAL DASAR
Kebudayaan Masyarakat Samin

Diajukan sebagai tugas kelompok demi memenuhi
penilaian mata kuliah Ilmu Sosial Dasar
 Disusun Oleh :
          1. Advina Risa W.                                   (12/335818/SP/25436)
                      2. Firdaus Rizqi Azizi                              (14/365753/SP/26315)
 3. Frevi Nurriyani                                     (14/364724/SP/26180)
          4. Manggiasih Tilotama T. B.                   (14/364699/SP/26167)
5. Kholis Dana Prabowo                           (14/369578/SP/26483)
6. Nadia Hardianti                                                (14/369686/SP/26499)
7. Rani Dwi Putri                                      (14/365728/SP/25307)
8. Reva yusmita                                        (14/364594/SP/26132)
9. Reza Rano Syahputra                           (14/364691/SP/26162)
                    10. Siska Anggraeni                                   (14/364819/SP/26212)
                          11. Yunia Fatkhurohmah                           (14/364719/SP/26177)

UNIVERSITAS GADJAH MADA
SOSIOLOGI
2014
Pengetahuan Lokal dan Nilai yang Dianut Masyarakat Samin
Masyarakat Samin merupakan fenomena sosial budaya yang sangat menarik untuk dibahas, karena mereka yang tetap  memegang nilai kebudayaan tradisional masih eksis dan bertahan di era modernisme. Keunikan masyarakat Samin tentang bahasa, pola perilaku dan kepercayaan mengundang banyak tanggapan dari masyarakat di luar Samin. Banyak dari masyarakat secara umum yang menganggap bahwa masyarakat Samin aneh, ‘nyeleneh’, bahkan ekstrimnya masyarakat Samin sering dianggap gila.
Masyarakat Samin memiliki pola komunikasi yang unik, meskipun dalam keseharian mereka menggunakan bahasa Jawa, namun bahasa Jawa yang mereka gunakan tidak seperti yang orang Jawa pada umumnya gunakan. Misal ketika menanyakan nama, masyarakat Samin akan mengatakan “Sapa pengaranmu?”. Dalam bahasa Jawa pada umumnya, maksud dari kalimat ini adalah “Siapa sebutanmu?”. Namun, jika mereka ditanya dengan bahasa Jawa yang pada umumnya seperti, “Sapa jenengmu?”(siapa namamu?), maka mereka menjawab lanang (laki- laki) atau wedok (perempuan). Tentu penggunaan bahasa Jawa yang seperti ini sangat aneh bagi masyarakat Jawa pada umumnya.
 Dari kondisi seperti itu, maka muncul sikap-sikap masyarakat Samin yang ‘nyeleneh’. Pada awalnya sikap ‘nyeleneh’ itu disengaja karena ia ingin bertingkah pura- pura gila di hadapan pemerintah Belanda, namun kemudian hal yang dilakukan berulang- ulang ini mengalai normalisasi dan menjadi pola hidup masyarakat Samin hingga sekarang.
Keunikan lain yang dimiliki oleh masyarakat Samin adalah mereka sangat menghargai lingkungan alam sekitarnya, mereka menganggap bahwa alam adalah ibu mereka. Mereka memperlakukan alam sebagaimana mereka memperlakukan manusia. Hal ini menjadi sangat menarik mengingat sikap arif terhadap lingkungan sangat jarang ditemukan di era modern ini.
Pola hidup masyarakat samin tidak terlepas dari kebudayaan yang eksis di tengah-tengah masyarakat, karena sejatinya masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Menurut Alvin I. Bertrand yang dikutip Suryansyah dan Suhubdy Yasin (1986) kebudayaan adalah semua cara hidup yang dipelajari dan diharapkan, yang sama- sama diikuti oleh para anggota dari suatu kelompok masyarakat tertentu.
Ciri khas masyarakat samin dalam berinteraksi dan manjalani kehidupan sehari- hari juga tak terlepas dari sistem pengetahuan lokal dan nilai- nilai yang dianut oleh masyarakat Samin. Menurut Warren sistem pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama. Sebagai hasil dari proses hubungan timbale balik antara masyarakat dengan lingkungannya. Jadi, pengetahuan adalah inti dari budaya pada suatu masyarakat yang diperoleh melalui pengalaman hidup dan digunakan untuk menghadapi situasi tertentu.  Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pengetahuan lokal adalah budaya lokal itu sendiri.
Faktor budaya sangat mempengaruhi pola perilaku suatu masyarakat. menurut Durkheim  yang dikutip Darmastuti (2005)  faktor budaya terdiri dari nilai dan norma. Nilai merupakan suatu konsep yang sangat abstrak yang dimiliki oleh setiap individu dalam memandang dunia ini sehingga bisa menetapkan apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, patut atau tidak patut (Darmastuti, 2005: 65). Dari nilai tersebut lahirlah norma- norma yang mengatur kehidupan suatu masyarakat.
Fenomena Samin ini dianggap oleh penulis sebagai keunikan suatu budaya yang sarat akan nilai- nilai tradisional  dan tetap eksis di era modern. Dari sini penulis ingin fokus pada keunikan- keunikan pola hidup masyarakat Samin yang terbentuk dari pengetahuan dan nilai- nilai yang mereka anut.
Ø  Pola Umum Masyarakat Samin
Masyarakat Samin adalah sebutan bagi mereka yang mengikuti ajaran Samin atau disebut Saminisme, mereka biasa tinggal mengelompok bersama di luar masyarakat umum serta membentuk komunitas di suatu wilayah tertentu.  Kata “Samin” merupakan sebuah nama dari seorang penduduk yang bernama Samin Surosentiko. Samin lahir di Desa Ploso, Kabupaten Blora Jawa Tengah pada tahun 1859. Samin adalah keturunan dari Kanjeng Pangeran Arya Kusumowinahyu yang memerintah di Kabupaten Sumoroto. Pada tahun 1890, saat Samin berumur 31 tahun dia mulai menyebarkan ajarannya, yakni ajaran adam yang sampai sekarang masih menjadi pedoman bersikap dan bertingkah laku masyarakat Samin. Kemudian Sa
min mendapatkan wahyu Kitab Kalimosodo. Ajaran – ajaran Samin yang  masih dilakukan oleh masyarakat Samin adalah: “Aja drengkisrei , dohwen, kemeren, tukarpadu, bedhogcolong, begal kecu aja dilakoni, apa meneh kutil jupuk, nemu wae emoh” maksudnya adalah jangan berbuat jahat, iri hati, bertengkar mulut, merampok mencuri dan menjambret, menemukan barang yang dijalan yang bukan miliknya tidak mau.
Prinsip ajaran Samin pada hakikatnya adalah menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan manusia yang termuat dalam agama yang dianut oleh mereka yakni Agama Adam. Dimana di dalam ajaran adam tersebut masyarakat Samin diberi tuntunan dan bimbingan untuk melakukan perbuatan yang baik dan jujur , tidak boleh mencuri , bertnggung jawab serta meyakini adanya karma. Orang–orang luar biasa menyebut pengikut samin dengan sebutan masyarakat samin walaupun sebenarnya masyarakat samin sendiri tidak suka dikatakan “wong samin”. Sebab mereka pikir menyebut kata samin merupakan hal yang tidak sopan karena samin merupakan nenek moyang mereka selain itu nama samin juga dikonotasikan dengan arti perbuatan yang tidak terpuji , diantarnya adalah: dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak,   sering  membantah  dan menyangkal peraturan yang telah ditetapkan, sering keluar masuk penjara, sering mencuri kayu jati, perkawinannya tidak dilakukan menurut tata cara agama islam.
Orang Samin lebih suka disebut “sedulur sikep atau wong sikep” karena bagi mereka wong sikep memiliki arti sebagai orang–orang yang bertanggung jawab. Mereka tidak pernah membeda-bedakan agama yang dianut oleh manusia karena bagi mereka semua manusia itu saudara. Jadi walaupun ada orang luar Samin yang membutuhkan bantuan mereka tetap membantunya dengan sepenuh hati dan menjunjung tinggi semangat gotong royong.
Keunikan dari masyarakat Samin lainnya adalah mereka selalu berusaha untuk selalu menghargai dan menjaga alam. Mereka tidak pernah mengeksploitasi alam secara berlebihan dan hanya mengambil apa yang ada di alam sesuai kebutuhan sehingga alam tidak akan rusak dan tetap terjaga kelestariannya. Masyarakat Samin biasa hidup dengan kehidupan yang sangat sederhana. Ciri khas lainnya dari masyarakat Samin adalah mereka tidak bisa berbahasa Indonesia dan pakaian yang mereka gunakan juga berbeda, yaitu laki- laki menggukan pakaian berwarna hitam lengan panjang tidak berkerah, celana dengan panjang sampai dibawah lutut serta menggunakan ikat kepala. Sedangkan perempuan menggunakan kebaya serta kain dengan panjang dibawah lutut.

Ø Produksi Pengetahuan

Pada umumnya produksi pengetahuan masyarakat Samin tidak terlalu terlihat dan tidak seperti masyarakat pada umumnya. Pengetahuan yang mereka miliki sangat terbatas. Hal ini dikarenakan masyarakat Samin hanya menganut ajaran yang diurunkan dari leluhur mereka dan hasil proses interaksi sosial dalam bermasyarakat. Secara pengertian (dalam Soerjono, 2012) Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (belief), takhayul (superstitions), dan penerangan-penerangan yang keliru (misinformations).
Pengetahuan yang masyarakat Samin miliki tentu saja juga bukan berupa pengetahuan ilmiah karena mereka tidak mengalami masa sekolah. Mereka menganggap bahwa sekolah tidak penting karena kepandaian tidak hanya diperoleh dari sekolah saja. Sehingga masyarakat luar Samin banyak yang beranggapan bahwa orang Samin itu bodoh, tidak berpendidikan, kolot dan suka menentang peraturan yang ada.
Walaupun pengetahuan yang mereka miliki sangat terbatas, terdapat beberapa pengetahuan yang masyarakat Samin terapkan pada aspek-aspek kehidupan mereka.
1.    Pengetahuan tentang Agama
Orang Samin mengetahui bahwa semua agama itu baik, tidak ada yang buruk.  Karena setiap agama selalu mengajarkan kebaikan kepada siapapun, manusia, hewan, ataupun tumbuhan. Namun, saat mereka ditanya apa agama mereka, pasti jawabannya adalah agama Adam. Sehingga, mereka hanya berperilaku baik kepada sesama tanpa melakukan ibadah dan menyembah kepada Tuhan. Perilaku yang mereka lakukan ini berdasarkan ajaran dari Samin Surosentiko yaitu “Agama iku gaman, Adam pangucape, man gaman lanang” artinya, agama adalah senjata atau  pegangan hidup (Titi dkk, 2003: 23).
2.      Pengetahuan tentang Alam
Dari pengetahuan mereka, alam lingkungan merupakan sesuatu yang memberikan kehidupan sehingga harus dijaga keberadaannya. Orang Samin menganggap alam adalah biyungnya (ibu), sebab dengan adanya alam manusia dapat hidup dan biyunglah yang membuat manusia hidup sampai sekarang. Walaupun pengetahuan masyarakat samin  tidak ilmiah, tetapi pengetahuan tentang gugon tuhon masih sangat melekat dan diperhatikan oleh  mereka. Contohnya, mereka tidak memperbolehkan membunuh ular di sawah.  Apabila dipandang dari sisi ilmiah, kelangkaan ular akan memperbanyak tikus yang menjadi hama tanaman, sebab ular yang berfungsi sebagai pemakan tikus menjadi langka.

3.      Pengetahuan tentang Lingkungan
Pengetahuan masyarakat Samin tentang lingkungan fisik, seperti tanah, air, dan hutan, berbeda dengan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat umum. Bagi masyarakat Samin yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, tanah adalah barang yang paling berharga karena hidup mereka dari bertani dan bercocok tanam. Mereka memanfaatkan alam seperti menebang pohon atau menggunakan air hanya secukupnya saja, tidak menggunakannya secara berlebihan agar kondisi alam tetap terjaga dengan lestari. Dalam menjaga keasrian hutan, jika ada orang yang menebang pohon, maka orang itu harus menanaman pohon juga. Mereka hanya diperbolehkan  menebang pohon jati yang berukuran cukup besar, dan dilarang menebang pohon jika masih berukuran kecil.
4.      Pengetahuan tentang Flora
Pengetahuan flora yang dimiliki masyarakat Samin ada dua, yaitu tanaman yang ditanam di sekitar pekarangan rumah, dan tanaman yang ditanam jauh dari pemukiman (di sawah). Mereka sangat mengenal berbagai tanaman sayuran, tanaman perindang, tanaman obat-obatan/apotik hidup, tanaman untuk pagar hidup, tanaman untuk pupuk tradisional dan lain sebagainya. Setiap rumah mereka berpagar pohon tehtehan. Tanaman yang ditanam di sekitar tempat tinggal diantaranya tanaman lamtoro, pohon pisang, mangga, pepaya dan segala macam tanaman bumbon. Sedangkan yang ditanam di sawah adalah tanaman jenis sayur-sayuran dan palawija. Selain itu, mereka juga paham betul tanaman jenis apa saja yang baik ditanam pada musim kemarau dan musim hujan. Pengetahuan yang mereka miliki mengenai musim  sering  disebut dengan ilmu titen. Ketika hewan gareng pung mulai bermunculan menandakan bahwa musim kemarau akan datang, sedangkan ketika ada angin kencang dan udara panas pertanda bahwa musim hujan hampir tiba.
5.      Pengetahuan tentang Fauna
Pengetahuan masyarakat Samin tentang fauna sangat terbatas karena mereka hanya mengetahui jenis fauna yang sering mereka lihat dilingkungan sekitar. Pada dasarnya mereka mengenal dua macam fauna, yaitu fauna yang dibudidayakan, dan fauna yang tidak dibudidayakan. Fauna yang dibudidayakan seperti sapi, kerbau, ayam, kambing. Mereka mengetahui manfaat hewan-hewan tersebut. Sapi dan kerbau dapat digunakan untuk membajak sawah, kambing dapat dimanfaatkan dagingnya, serta ayam dapat dimanfaatkan daging dan telurnya untuk dikonsumsi. Sebagian besar masyarakat Samin memelihara ayam karena lebih mudah memeliharanya. Sedangkan fauna yang tidak dibudidayakan seperti, ular, tikus, serangga, kadal, dan sebagainya. Hewan-hewan itu tidak dibudidayakan karena dapat merusak atau bahkan dapat membunuh tanaman yang ditanam oleh petani.
Ø  Nilai-Nilai dalam Masyarakat Samin
Nilai budaya merupakan sebuah dasar yang dianggap penting dari budaya tersebut sehingga melekat dan dijalankan dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam kebudayaan masyarakat Samin sendiri juga banyak mengandung nilai-nilai luhur yang dipertahankan oleh masyarakatnya hingga sekarang ini. Budaya Samin sendiri tidak sendirinya ada, Samin Surosentiko adalah tokoh dibalik tercipta dan berkembangnya budayaSamin. Dalam setiap ajaran dan keyakinan yang dianut oleh Samin Surosentiko yang dianggap unik ini banyak mengandung nilai-nilai falsafah.
Kebudayaan masyarakat Samin memang sangat beragam dan unik mulai dari cara berkomunikasi, berinteraksi, berpakaian, hingga cara mereka memperlakukan alam. Dari segala keberagaman yang unik itu banyak sekali nilai-nilai yang luhur yang dipercayai dan dipertahankan. Meskipun tak jarang proses akulturasi dan perkembangan zaman membuat mereka tak sefanatik dulu tapi nilai-nlai yang ada masih tetap dipertahankan.
Dalam pola bahasa masyarakat Samin sendiri yang dianggap nyeleneh, dan kadang tidak sesuai dengan bahasa masyaraakat Jawa pada umumnya. Akan tetapi, dibalik cara berbahasa mereka banyak mengandung nilai-nilai mendalam. Misalnya, bahasa yang sangat seringdiucapkan oleh masyarakat Samin adalah “Tepangaken kula jeneng lanang pengaran Sampan” yang berarti “perkenalkaan nama saya laki-laki sebutan Sampan”. Tata bahasa seperti ini sangat berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya, dalam memperkenalkan diri tanpa menyebutkan “jeneng lanang” (nama laki-laki) atau“pengaran” (sebutan) dan biasanya langsung menyebutkan “jeneng kula Sampan”. Perbedaan ini bukan tanpa alasan, jika dicermai lagi tata bahasa yang mereka gunakan banyak mengandung falsafah mendalam. Nilai-nilai yang terkandung dalam tata bahasa Samin merupakan salah satu bentuk perlawanan mereka dalam melawan Belanda[1].
Selanjutnya, keunikan nilai dalam kebudaayaan masyarakat Samin juga ditemukan dalam cara mereka memperlakukan alam. Masyarakat Samin yang sering disebut sebagai Sedulur Sikep ini sangat mengagungkan alam. Mereka mengganggap alam adalah bagian dari hidup mereka juga. Alam bagi mereka sama seperti manusia yang juga harus diperhatikan. Walaupun, sebagian besar bekerja sebagai petani tapi cara-cara yang dilakukan tidak merusak alam. Nilai yang terkandung di dalamnya sangatlah jelas bahwa alam adalah bagian dari hidup mereka. Sehingga mereka sangat menjaga kelestarian dan kebutuhan alam. Nilai-nilai ini sampai sekarang masih dipegang teguh oleh masyarakat Samin. Terbukti dari kasus pembangunan pabrik semen yang katanya akan memanfaatkan salahsatu gunung Kapu di daerah Pati dan masyarakat Samin sangat menolak rencana tersebut karena mereka menganggap hal tersebut akan merusak alam.
Selain itu, dalam berpakaian masyarakat Samin menggunakan pakaian berwarna hitam dan untuk laki-laki mengenakan celana hitam selutut. Pakaian berwarna hitam sebagai penanda kerendahan hati. Celana hitam selutut menyimbolkan masyarakat Samin sebagai petani. Masyarakat Samin menganggap petani sebagai profesi mulia dan tidak mau berdagang. Mereka menganggap berdagang tidak sesuai dengan ajaran Samin Surosentiko dimana berdagang identik dengan penipuan. Pada pertemuan dalam masyarakat Samin di daerah Sukolilo posisi duduk sudah diatur. Mereka menggunakan posisi tempat duduk berbentuk oval. Pemimpin menempati kursi diujung oval dan kursi barisan pertama ditempati untuk pria yang berusia tua. Barisan kedua untuk pria dan muda dan barisan terakhir untuk wanita dan anak-anak. Urutan ini menandakan kekuasaan berbicara dalam pertemuan dimana laki-laki dahulu baru diikuti wanita[2].











PENUTUP

Indonesia sebagai negeri yang disatukan oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dapat dikatakan mempunyai beranekaragam ras, suku, agama dan budaya. Ribuan suku berada di seluruh penjuru nusantara. Berbeda-beda namun tetap satu, perbedaan yang mencolok juga terletak pada aspek kebudayaan. Budaya merupakan ciri khas yang dijadikan simbol pengenal dari pemilik kebudayaan itu sendiri. Salah satu dari sekian banyak suku di Indonesia, yang memiliki keunikan tersendiri adalah suku Samin yang berada di Blora, Jawa Tengah. Suku Samin kaya akan kebudayaan dimana itu merupakan warisan leluhurnya dan masih dilestarikan hingga kini.
Fenomena masyarakat samin tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, produksi pengetahuan dan nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Keberadaannya hingga saat ini, bisa  dikatakan bukti akan kekuatan kebudayaan yang ada di dalamnya, dimana masyarakat sangat berperan dalam pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan itu sendiri. solidaritas intern masyarakat yang sangat kuat juga membantu dan berperan aktif dalam menjaga eksistensinya hingga era modern ini.
Terlepas dari perilaku yang unik dan terkadang sulit dimengerti oleh masyarakat umum, keberdaan masyarakat Samin sangat dibutuhkan. Selain sebagai contoh masyarakat yang masih memegang budaya luhurnya, keberadaan masyarakat Samin dapat menjadi objek kajian yang akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
Kita sebagai generasi muda, harus memandang suatu perbedaan menjadi keberagaman yang indah. Jadikan keberagaman sebagai pemersatu atas keunikan ciri khas yang dimili oleh setiap komponen di dalamnya. Seperti Suku Samin, keunikan dan ciri khas yang ada di Suku Samin bukanlah suatu hal yang aneh atau hal yang harus kita menjadikannya suatu permasalahan yang berarti.




Daftar Pustaka
ü  Buku
Mumfangati, Titi. Dkk. 2004. Kearifan Lokal di lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten            Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Darmasyah, Dkk. 1986. Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGraafindo Persada

ü  Jurnal
Darmastuti, Rini. 2005. Pola Komunikasi Masyarakat Samin. Vol. XVII No. 1, 2005: 59  83.            http://ppsspuksw.org/sys/sites/default/files/. Diakses pada tanggal 25 Desember 2014.
Puji, Indah. 2013. Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar.  Komunitas
5 (1) (2013) : 74-86. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas . diakses pada tanggal 25 Desember 2014.
Sugihardjo, dkk. 2012. Strategi  Bertahan dan  Strategi Adaptasi  Petani Samin Terhadap Dunia Luar. Vol. 8 No. 2 Februari 2012 : 51 – 182.   . Diakses pada tanggal 27  Desember 2014.


[1]Darmastuti, Rini. 2005. Pola Komunikasi Masyarakat Samin. Vol. XVII No. 1, 2005: 59  83. http://ppsspuksw.org/sys/sites/default/files/Diakses pada tanggal 25 Desember 2014
[2] Ibid

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS