Kebebasan
tanpa Batas
Indonesia
adalah Negara yang menganut sistem demokrasi di mana aspirasi rakyat bebas
disuarakan. Hal ini juga sangat jelas tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945
dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum. Di sini segala pendapat dan aspirasi rakyat
sangat di lindungi oleh UUD’ 45 sehingga rakyat bebas mengeluarkan aspirasinya
di ruang publik. Begitu pun pada awal kemerdekaan para jurnalis dan segala macam media masa seakan berpesta dalam
menyalurkan semua aspirasinya baik dalam bentuk tertulis maupun secara lisan
setelah sekian lama terbelunggu dalam kekangan pihak penjajah. Akan tetapi, ini
tak berlangsung lama kebebasan yang telah dirasakan setelah kemerdekaan RI di
kumandangkan seakan mulai sirna ketika Soekarno menetapkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang menandakan berakhirnya masa demokrasi liberal dan muncullah
demokrasi terpimpin. Dalam masa itu, semua media massa seakan-akan didoktrin
agar selalu mendukung pemerintah, bisa dikatakan media massa pada zamannya
adalah alat pemerintah dalam mengelabuhi rakyat. Seolah tak jauh berbeda pada
masa Soeharto media massa digunakan untuk mempertahankan status quo yang pada
saat itu kondisi pemerintahan sangat buruk sehingga media massa digunakan
sebagai alat pertahanan. Pada masa Soeharto jugalah di mana pendapat dan
aspirasi rakyat seolah terpenjara tak boleh sembarang disuarakan.
Perbedaan
pers pada awal kemerdekaan yang membangun rasa nasionalisme rakyat Indonesia
dengan masa sesudahnya yang seakan-akan dijadikan alat doktrin pemerintah. Ini tak jauh berbeda pada masa
sekarang ini, jika dulu pers dijadikan alat bagi pemerintah untuk mendukung
segala kebijakan-kebijakan yang di buatnya sekarang pers dijadikan alat oleh
sekelompok golongan elit yang mempunyai tujuan dalam pemerintahan. Baru-baru
ini saja, media massa seakan-akan terkotak-kotak dalam golongan tertentu. Media
massa berlomba-lomba menyoroti golongan yang mereka dukung memang tak semua
media yang terjebak pada kegelapan ini ada beberapa juga yang masih berpegang
teguh pada idealismenya. Di sini sebagian media hanya sebagai alat pencitraan,
alat untuk menjatuhkan golongan tertentu, dan alat untuk meraup suara rakyat
tanpa menghiraukan ideologi awal mereka dalam menyampaikan kebenaran untuk
semua masyarakat. Semua media seolah bebas menyuarakan pendapat-pendapat mereka
yang bisa saja menjatuhkan golongan tertentu, media seolah berubah peran
sebagai setan penghasut masyarakat yang kebanyakan berpendidikan rendah dan
mudah percaya dengan informasi yang beredar. Begitupun dengan individu-individu
yang menjadi bagian dari salah satu golongan tersebut mereka juga sangat bebas
mengeluarkan pendapatnya tanpa batas sehingga lupa dasar dari pendapatnya dan
lebih mengarah pada penjatuhan karakter suatu golongan tertentu. Perlu diakui
sekarang ini masyarakat dan media bahkan lembaga-lembaga kurang memperhatikan
etika dalam berpendapat, mereka seolah terjebak dalam kebebasan yang diberikan
oleh pemerintah sehingga sedikit banyak dimanfaatkan oleh golongan-golongan
yang berkepentingan. Memang Undang-Undang yang diberikan pemerintah dalam
berpendapat sangat membantu kita dalam berpendapat dan memacu kita agar lebih
kreatif dalam menyalurkan aspirasi kita
akan tetapi, perlu di ingat juga dalam berpendapat ada dasar yang kuat dan
benar yang mendasari pendapat kita sehingga tidak asal dan terkesan memojokan
dan menjatuhkan sesorang yang belum tentu bersalah. Etika dalam berpendapat
sangat diperlukan guna mengontrol kebebasan agar tidak menjadi bebas tanpa batasan.
Sehingga Undang-Undangg yang memberikan kebebasan dalam berpendapat tidak
menjadi senjata dalam kepentingan-kepentingan golongan.
0 komentar:
Posting Komentar