Korupsi
yang Membudaya di Masyarakat
Dewasa
ini, kata korupsi sudah sangat bersaudara dengan pendengaran kita. Entah itu
muncul dari media cetak maupun elektronik bahkan dari mulut ke mulut. Dari
pengertiannya sendiri “korupsi adalah penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi”
( Alatas, 1987: 1 ). Secara garis besar korupsi adalah segala perbuatan
penyalahgunaan dan pengambilan secara sengaja dilakukaan untuk kepentingan
pribadi baik berupa benda yang nyata ataupun sesuatu yang tidak bisa dilihat.
Alatas
(1987) menyebutkan dalam bukunya korupsi mempunyai beberapa ciri yaitu suatu
pengkhianatan terhadap sesuatu, penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga
swasta, atau masyarakat umum, dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk
kepentingan khusus, dilakukan secara rahasia, dan melibatkan lebih dari satu
orang atau pihak.
Dalam
praktiknya sekarang ini korupsi sudah banyak dilakukan bahkan sudah mulai
melekat pada kehidupan masyarakat kita. Secara tidak sadar perbuatan korupsi
baik itu dalam bentuk uang, waktu, ataupun dokumen-dokumen yang dimiliki negara
sudah sangat membudaya dalam kehidupan kita terutama korupsi dalam bentuk yang
tidak terlihat seperti waktu. Mengapa demikian?
Budaya sendiri berasal dari kata buddhayah yang merupakan bentuk jamak
kata “buddhi” yang berarti budi atau akal sehingga kegiatan budaya mencakup
budi dan akal (Soerjono,2012:150). Secara umum budaya diartikan sebagai
kebiasaan yang melekat dan dilaksanakan secara turun temurun.
Menurut
E.B Tylor (dalam Soejono,2012:150) seorang antropolog menerjemahkan kebudayaan
sebagai berikut.
Kebudayaan adalah komplek yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian moral, hukum, adat istiadat dan
lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
Dapat
disimpulkan jika segala sesuatu disebut sebagai budaya atau kebudayaan adalah
sesuatu yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sudah melekat
dalam kehidupan mereka. Dalam penerapannya korupsi sudah hampir menjadi
kebiasaan yang melekat dalam masyarakat baik itu secara langsung ataupun tidak
langsung baik dalam bentuk finansial ataupun non-finansial.
Korupsi
dalam bentuk finansial adalah korupsi yang menyangkut uang baik itu secara
besar maupun kecil sekalipun. Korupsi bentuk ini biasanya dilakukan oleh
pejabat-pejabat negara yang dalam kesehariannya berkutat dalam masalah keuangan
dan kebijakan-kebijakan yang menyangkut anggaran. Sedangkan korupsi dalam
bentuk non-finansial adalah korupsi yang melibatkan segala sesuatu selain uang
misalnya waktu, kepercayaan, mencontek atau berupa pencurian dokumen-dokumen
rahasia negara yang disebarluaskan. Pelaku korupsi ini biasanya orang-orang
yang berada di sekitar kita sendiri baik orang dewasa maupun anak kecil sekalipun.
Di Indonesia sendiri kata korupsi sudah tidak asing lagi bagi masyarakatnya.
Dari masyarakat kalangan atas sampai kalangan bawah sudah sangat peka terhadap
korupsi yang terjadi baik itu mereka sebagai pelaku atau sebagai korban. Akan
tetapi, korupsi yang banyak menjadi sorotan baik dibicarakan di media massa
maupun yang beredar di masyarakat hanya seputar korupsi finansial saja karena
memang dianggap sangat merugikan masyarakat maupun negara. Kita kadang lupa
dengan korupsi-korupsi dalam bentuk non-finansial yang sangat jarang
dibicarakan di masyarakat luas bahkan media massa sekalipun. Memang korupsi
dalam bentuk ini kurang dirasakan kerugian-kerugiannya akan tetapi, sedikit
banyak korupsi ini juga merugikan kita meskipun kadang tidak kita rasakan atau
tidak terlihat. Korupsi non-finansial misalnya korupsi dalam bentuk waktu yaitu
korupsi yang mengambil batas waktu yang telah menjadi kesepakatan bersama atau
korupsi berupa contekan yaitu korupsi dengan cara mengambil jawaban pihak lain
tanpa sepengetahuan pihak tersebut dan atau melihat catatan saat ujian
berlangsung tanpa sepengetahuan guru atau pengawas dengan tujuan agar mendapat
nilai bagus. Hal-hal inilah yang sering dianggap biasa oleh masyarakat sehingga
dengan tidak sadar telah membudaya dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Di
sinilah ketertarikan saya untuk membahasnya lebih lanjut.
A.
Sejarah
Perkembangan korupsi
Dalam
perkembangannya korupsi muncul ketika manusia mulai bermasyarakat dan
bernegara, pada saat itu juga muncullah berbagai organisasi kemasyarakatan yang
rumit (Atalas,1987). Pada masa itulah manusia dianggap mulai mengenal kata
korupsi yang berasal dari bahasa latin yaitu corruption. Al. Andang (2006, p. 1) kata korupsi sendiri sudah
banyak digunakan oleh filsuf-filsuf yunani kuno seperti Aristoteles dalam
bukunya yang berjudul De Generatione et
Cooruptione. Di Asia sendiri korupsi mulai berkembang sebelum perang dunia ke dua,
korupsi pada zaman ini hanya dilakukan oleh pegawai-pegawai rendahan. Para
pejabat tinggi relatif tidak melakukannya karena kurangnya likuiditas
sumber-sumber membatasi kesempatan mereka (Alatas,1987).
Di Indonesia, korupsi sudah muncul
saat masa kolonial atau masa penjajahan dan yang paling terkenaal adalah
korupsi yang dilakukan oleh para anggota VOC dan pada akhirnya menyebabkan
runtuhnya VOC kerena mengalami kebangkrutan. Bahkan jika ditilik kebelakang,
korupsi juga sudah muncul pada zaman kerajaan. Memang korupsi pada zaman
kerajaan masih berkutat pada perebutan kekuasaan akan tetapi, ini juga menjadi
cikal bakal jiwa korup masyarakat kita. Kita lihat saja pada zaman kerajaan
Majapahit yang hancur karena perang saudara yang lebih dikenal dengan “perang
paregreg” yaitu perang antara Wikramawardhana
dan Bhre Wirabhumi. Dalam perang saudara tersebut tujuan
utama mereka adalah merebutkan kekuasaan kerajaan Majapahit untuk kepentingan
pribadi dan masing-masing kelompoknya.
Pada masa Indonesia modern yaitu masa sesudah
kemerdekaan dan awal pemerintahan Soekarno, korupsi juga sudah mulai
bermunculan. Di awal Indonesia membanggun pemerintahan bibit-bibit korupsi
memang sudah muncul dan berkembang yang pada hakekatnya memang lanjutan dari
korupsi-korupsi yang dilakukan sebelum kemerdekaan. Di awal kemerdekaan atau
masa Soekarno memimpin Indonesia korupsi dilakukan oleh pejabat-pejabat negara
yang menduduki kursi pemerintahan baik di pusat maupun daerah sekalipun. Ini
terbukti dengan terbentuknya badan pemberantas korupsi yaitu Paran dan Operasi
Budhi. Paran singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara yang dalam
sistemnya mewajibkan para pejabat mengisi formulir kekayaan pribadi. Karena
suatu hal lembaga ini mengalami kemacetan sehingga tidak lagi berfungsi. Setelah
itu diganti dengan badan Operasi Budhi yang secara sifnifikan dalam memberantas
korupsi. Terbukti dengan terselamatkannya uang negara sebesar kurang lebih Rp.
11 milyar (Dodi Prasetya,2012).
Di
masa selanjutnya yaitu masa Soeharto yang lebih dikenal dengan masa orde baru.
Dalam masa orde baru kasus korupsi semakin meningkat dan semakin berkembang
baik dari golongan atas sampai golongan bawah. Bahkan Soeharto juga ikut terlibat
dalam masalah korupsi sehingga berujung pada mundurnya Soeharto dari kursi
presidennya.
Dari
masa ke masa pun tak jauh berbeda, masalah korupsi masih jadi masalah negara
yang sulit untuk di kupas tuntas dalam penyelesaiannya. Meskipun sudah di bentuk
lembaga-lembaga pemberantas korupsi seperti KPK, masalah korupsi masih menjadi
masalah pelik. Akan tetapi, dengan di bentuknya lembaga seperti ini setidaknya
bisa membantu menguak pelaku yang terlibat dalam masalah tersebut.
Anti-Corruption
Clearing House memaparkan dari tabulasi data penanganan kasus korupsi (oleh
KPK) dari tahun 2004-2014 bahwa kasus korupsi dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Dari kurun waktu selama sepuluh tahun tersebut jumlah penyelidikan
saja sudah mencapai 643 proses penyelidikan dan 282 sudah di eksekusi.
Dedy dan santi (2013) menjelaskan
bahwa di tahun 2013 ini saja Indonesia menduduki posisi ke 127 dengan indeks
persepsi 28. Meskipun Indonesia masih kalah jauh dari Singapura yang menduduki
posisi ke 5 dengan indeks persepsi 86. Akan tetapi, ini bukan prestasi yang
bisa dibanggakan karena Indonesia tetap menjadi negara terkorup untuk ukuran negara
yang masih berkembang tak seperti Singapura yang lebih dulu menjadi negara yang
maju.
Korupsi
di Indonesia memang tak ada habisnya terutama korupsi-korupsi yang dilakukan
oleh para pejabat negara. Korupsi yang mereka lakukan melibatkan pengambilan
uang negara untuk kebutuhan pribadinya dalam bentuk uang dan dalam jumlah yang
relatif banyak. Korupsi dalam bentuk finansial ini memang sering dilakukan oleh
para pejabat negara. Bisa dikatakan masyarakat biasa tidak bisa melakukan
korupsi dalam bentuk ini karena mereka tidak punya peran dalam pemerintahan.
Akan tetapi, masyarakat biasa tidak lepas juga dalam perbuatan korupsi karena
korupsi sendiri tidak hanya melibatkan uang dengan jumlah banyak tapi juga bisa
dalam bentuk non-finansial. Dalam masyarakat biasa cenderung melakukan korupsi
dalam bentuk non-finansial seperti waktu, pikiran, ataupun dokumen atau surat
berharga walaupun mereka juga bisa melakukan korupsi dalam bentuk finansial
akan tetapi, hanya dalam jumlah yang relatif sedikit.
B.
Korupsi
non-finansial yang Beredar di Masyarakat
Korupsi non-finansial adalah segala
perbuatan penyalagunaan berupa selain uang untuk kepentingan atau hanya sekedar
memuaskan pribadinya. Biasanya korupsi dalam bentuk ini berupa waktu, pikiran
atau dokumen ataupun surat berharga. Contoh bentuk korupsi seperti ini
adalah misal korupsi dalam bentuk waktu
seperti telat atau tidak tepat dengan waktu yang sudah disepakati, korupsi
dalam bentuk pikiran misalnya berupa plagiarisme yaitu perbuatan penjiplakan
karya orang lain, atau juga berupa menyontek saat ujian berlangsung.
Korupsi dalam bentuk waktu berupa
telat yaitu tidak tepat dengan waktu yang telah disepakati atau mengambil waktu
secara berlebih dari waktu yang telah diberikan. Dalam korupsi bentuk ini
memang tidak begitu dirasakan kerugiannya akan tetapi, tetap saja perbuatan ini menyalahi kesepakatan
atau perjanjian yang telah ada dan tetap dikatakan sebagai bentuk korupsi. Seperti
yang dijelaskan di atas korupsi sendiri diartikan sebagai bentuk penyalagunaan
untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus telat bisa dikatakan ada unsur penyalagunaan
yaitu berupa waktu. Telat sendiri diartikan sebagai keadaan yang tidak tepat
dengan waktu yang telah disepakati. Dalam hal ini seseorang cenderung
menyalahgunakan waktu yang sudah disepakati bersama untuk digunakan dalam
kegiatan pribadinya. Misalnya saja seseorang akan menghadiri sebuah pertemuan
dan kebetulan dia akan menjadi pembicara di acara tersebut. Acaranya akan
dimulai pada pukul 08.00 WIB akan tetapi, karena suatu hal dia datang terlambat
tiga puluh menit sesudah waktu yang telah disepakati sehingga acara tersebut
terpaksa molor setengah jam dari waktu yang telah ditentukan. Dari kasus
tersebut dapat dilihat, korupsi yang dilakukan oleh seseorang tersebut memang
tidak membawa dampak yang besar seperti korupsi yang dilakukan oleh pejabat
pada umumnya. Akan tetapi, apa yang ia lakukan
membuat acara menjadi molor dan membuat orang-orang yang datang menjadi
kecewa.
Di Indonesia sendiri hal seperti ini
sudah dirasa sangat wajar terjadi. Dalam pertemuan-pertemuan yang sering
diadakan saja, banyak sekali yang melebihi waktu yang telah ditentukan. Dalam
hal ini memang tidak begitu merugikan akan tetapi, secara tidak langsung akan
menciptakan budaya yang lambat dalam bekerja atau melakukan sesuatu hal. Jika
di negara lain waktu adalah uang maka di Indonesia waktu adalah karet, istilah
ini seolah menggambarkan begitu lambatnya orang Indonesia dalam bekerja dan
masyarakatnya cenderung tidak menghargai waktu yang ada. Di Indonesia, istilah
“waktu adalah karet” sangat melekat pada masyarakat-masyarakatnya. Pengandaian
waktu yang diistilakan sebagai karet yang notabene sangat elastis sehingga
mudah di ulur-ulurkan ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia memang suka
bekerja lambat dan cenderung mengabaikan waktu yang ada.
Selanjutnya, Korupsi dalam bentuk
pikiran misalnya berupa tindakan plagiarisme. Rayyan (2014) plagiarisme
merupakan tindakan menjiplak, mengambil atau mengambil ide dari hasil atau
tulisan orang lain baik seluruh, sebagian besar, maupun sebagian kecil untuk
dijadikan ide atau karya tulisan sendiri tanpa menyebutkan nama penulis dan
sumber aslinya. Secara garis besar plagiarisme adalah kegiatan penjiplakan atau
pengambilan karya orang lain untuk diakui sebagai karyanya atau sebagai bahan
karyanya tanpa mencantumkan nama pemilik karya tersebut. Dalam melakukan
plagiarisme berarti secara otomatis seseorang akan mengambil pemikiran orang
lain untuk kepentingannya. Sehingga jelas adanya jika kegiatan plagiarisme bisa
dikatakan sebagai korupsi dalam bentuk pikiran.
Dalam kenyataannya, tindakan
plagiarisme sudah tidak asing lagi bagi masyarakat khususnya para civitas
akademika. Misalnya saja, para mahasiswa sekarang ini cenderung banyak yang
melakukan plagiarisme. Tindakan ini tentu saja sangat merugikan terutama bagi
pemilik karya yang karyanya sengaja diambil tanpa mencantumkan nama pemiliknya.
Dari pihak pelaku plagiarisme atau disebut sebagai plagiator tentu akan ada
dampak negatif yang diterimanya yaitu akan menciptakan jiwa-jiwa pemalas dan
tidak kreatif. Di Indonesia sendiri, jiwa-jiwa pemalas sudah sangat terlihat
dari budaya masyarakat yang menyukai hal-hal instan. Dalam dunia akademik
mahasiswa atau pelajar cenderung lebih suka mengutip atau mengambil karya orang
lain dari pada harus melakukan penelitian secara ilmiah sendiri. Inilah yang
menyebabkan fenomena plagiarisme sangat marak dilakukan.
Korupsi dalam bentuk pikiran
selanjutnya adalah menyontek jawaban orang lain saat ujian berlangsung.
Menyontek merupakan tindakan penjiplakan tulisan orang lain tanpa sepengetahuan
pihak yang bersangkutan. Kegiatan ini sering dilakukan pada saat ujian
berlangsung baik itu ujian sekolah sampai ujian nasional sekalipun. Kegiatan
menyontek sangat diidentikkan dengan pelajar karena merekalah yang sering
melakukan kegiatan ini baik dalam tugas sehari-hari maupun saat ujian. Sehingga
tindakan menyontek sudah menjadi kebiasaan para pelajar terutama bagi mereka
yang tidak mau belajar sebelum ujian berlangsung. Karena sudah menjadi kebiasaan
dan dianggap wajar atau biasa tentu tindakaan tersebut seolah-olah sudah
melekat dan tidak bisa dipisahkan dengan para pelajar di Indonesia.
Pelaksanaan ujian nasional di
Indonesia sebagai contoh nyata jika kegiatan menyontek sudah sangat akrab
dengan para pelajar bahkan guru juga ikut terlibat di dalamnya. Dalam
pelaksanaan ujian di Indonesia masih banyak ditemukan kecurangan-kecurangan
yang terjadi baik dalam bentuk kerjasama dalam satu kelas untuk saling
menyontek atau bahkan pembocoran soal ujian nasional. Sebagai bukti nyata, di
daerah lamongan tujuh puluh kepala sekolah dan guru saling bekerja sama dalam
pemberian kunci jawaban ditangkap oleh Kapolrestabes Surabaya, dalam jawapos.com
(13 Mei 2014, 04:30 WIB). Ini
membuktikan bahwa kegiatan menyontek sudah sangat melekat di masyarakat kita
terutama kalangan pelajar sampai guru bahkan kepala sekolah pun ikut terlibat
di dalamnya.
Dapat disimpulkan bahwa korupsi
non-finansial baik dalam bentuk waktu dan pikiran sudah melekat di sebagian
besar masyarakat kita. Sehingga secara tidak sadar segala bentuk korupsi ini
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
C. Proses Membudayanya Korupsi
Korupsi
non-finansial yang berkembang di masyarakat sudah pada tahap membudaya artinya
sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Koentjaraningrat (2009)
menyatakan bahwa proses pembudayaan adalah proses di mana individu mempelajari
dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma,
dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Hal ini juga bisa
dijelaskan dengan teori fakta sosial dari Emile Durkheim (dalam Ritzer,2008)
menyebutkan bahwa fakta sosial merupakan kekutan dan struktur yang ada di luar,
namun memiliki daya paksa terhadap individu. Artinya individu sudah mempelajari
apa yang ada dalam masyarakat baik itu dalam bentuk norma, nilai, dan
peraturan-peraturan yang berlaku. Secara tidak langsung individu akan
menyesuaikan apa yang berlaku di masyarakat. Begitupun dengan kebiasaan korupsi
dalam bentuk non-finansial ini, sejak awal perkembangannya sampai sekarang
korupsi non-finansial ini sudah dianggap biasa dan menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat sehingga individu secara tidak sadar juga akan
menyesuaikan dengan apa yang berkembang dan melekat dalam masyarakat baik itu
individu menyesuaikan kebiasaan korupsi non-finansial dalam bentuk pikiran,
maupun dalam bentuk waktu. Dari kenyataannya, korupsi non-finansial dalam
bentuk waktu yang tidak bisa dihindari dan seolah sudah menjadi tradisi dalam
masyarakat kita sehingga individu juga sulit untuk menghindarinya.
Sebagai
contoh, seorang individu yang akan menempati janjinya untuk berkemu dengan
kawannya akan tetapi, kerena suatu hal temannya itu telat beberapa menit
setelah waktu yang telah disepakati sehingga individu tersebut harus menunggu
beberapa menit dan untuk pertemuan ke dua individu tersebut akan meniru untuk
datang beberapa menit setelah waktu yang ditentukan dan ketika itu terjadi
berulang kali maka secara tidak sadar tindakan yang mulanya meniru itu akan
terinternalisasikan ke dalam kepribadiannya. Sehingga kebiasaan telat atau
datang terlambat akan menjadi budaya dan dibudayakan oleh beberapa kalangan
masyarakat.
Berbeda
dengan korupsi dalam bentuk pikiran yang cenderung di lakukan oleh kaaum
terpelajar. Dalam korupsi pikiran cenderung terjadi karena faktor malas berpikir, kurang kreatif, tidak
mengetahui cara mengutip yang baik dan benar, dan keadaan deadline atau batas waktu yang disediakan sudah hampir tiba sedang
karya belum terselesaikan. Faktor-faktor inilah yang melatar belakangi korupsi
pikiran sangat marak dilakukan.
Proses
membudayanya ini biasanya karena mereka sudah terbiasa dan tidak ada sangsi
yang memberatkan. Dalam kenyataannya saja tindakan plagiarisme, menyontek sudah
dianggap hal yang biasa dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh, siswa dalam
menghadapi ujian di sekolah bagi siswa yang tidak belajar akan kesulitan dalam
mengerjaakan soal-soal yang diberikan oleh guru. Siswa yang seperti ini
cenderung akan melakukan kegiatan menyontek dan jika hal ini dilakukan secara
berulang-ulang dan diikuti banyak siswa karena tidak ada tindakan atau sangsi
yang berlaku maka hal ini akan wajar terjadi. Di masa ini, siswa yang tidak mau
menyonteki atau tidak mau memberikan jawaban kepada teman yang membutuhkan
jawaban biasanya akan dimusuhi banyak orang terutama teman-temannya karena
dianggap tidak mau membantu. Dalam hal ini menyontek kiranya sudah menjadi
kegiatan wajib bagi siswa. Jika menyontek sudah menjadi kebiasaan secara tidak
langsung jiwa plagiarisme juga akan muncul karena siswa yang cenderung suka
menyontek biasanya mempunyai jiwa pemalas dan sulit berpikir ini juga yang
menjadi cikal bakal jiwa plagiarisme. Sehingga inilah yang menyebabkan korupsi
dalam bentuk pikiran sangat membudaya dalam masyarakat khususnya para kaum
terpelajar.
Membudayanya
korupsi memang tidak dengan sengaja dibentuk akan tetapi, korupsi baik
finansial maupun non-finansial tumbuh dan berkembang secara tidak sadar karena
faktor-faktor pembiaran dan sifat manusia yang tidak perna puas dan suka hal
yang instan sehingga hal ini secara tidak sengaja berkembang dan melekat pada
kehidupan masyarakat.
D.
Kesimpulan
Korupsi
adalah penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi. Dalam perkembangan sejarahnya
korupsi ada sejak manusia bermasyarakat dan terbentuknya negara. Di Indonesia
korupsi ada sejak zaman penjajahan bahkan pada zaman kerajaan seperti pada
zaman kerajaan Majapahit juga sudah muncul bibit korupsi. Di masyarakat sendiri
korupsi sudah melekat dan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
sehingga bisa dikatakan sudah membudaya. Korupsi yang berkembang di masyarakat
dapat digolongkan menjadi dua yaitu korupsi dalam bentuk finansial dan
non-finansial. Korupsi finansial adalah korupsi yang berhubungan dengan uang
dan biasa dilakukan oleh para pejabat negara. Korupsi dalam bentuk ini
cenderung merugikan baik bagi masyarakat maupun negara sehingga banyak
dipermasalahkan. Sedangkan, korupsi non-finansial adalah korupsi yang dilakukan
tidak dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk waktu, pikiran, atau bahkan
dokumen-dokumen negara yang disebarluaskan. Korupsi non-finansial dalam bentuk
waktu seperti telat dan mengambil waktu lebih dari waktu yang disediakan dan
korupsi non-finansial dalam bentuk pikiran seperti tindakan plagiarisme dan
menyontek. Korupsi non-finansial inilah
yang masih dianggap biasa oleh masyarakat sehingga secara tidak sadar melekat
dalam kehidupan mereka. Proses membudayanya korupsi ini disebabkan banyak hal
baik itu karena faktor sifat manusia yang tidak perna puas dan suka budaya
instan atau juga karena faktor pembiaran.
Daftar Pustaka
Alatas,
S.H. 1987. Korupsi Sifat, Sebab, dan Fungsi.
Jakarta: LP3ES.
Andang,
Al (Eds). 2006. Korupsi Kemanusiaan.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Soekanto,
Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ritzer,
George dan Douglas Goodman. 2014. Teori
Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Koentjoraningrat.
2009. Pengantar Antropologi. Jakarta:
Aksara Baru
Acch.kpk.go.id.
“Statistik Tindak Pidana Korupsi”. Diakses tanggal 6 Oktober 2014
Prasetya,
Dodi. 2012. “Korupsi dan Sejarahnya Mengakar dan terus Mengakar”. http://sosbud.kompasiana.com/.
Diakses tanggal 6 Oktober 2014
Priatmojo,
dedy dan Santi Dewi. 2013. “ Tiga Negara Terkorup di Dunia, Indonesia Masuk Rangking
Berapa” http://viva.news.com/.
Diakses tanggal 6 Oktober 2014
Ahdafy,
Rayyan. 2014. “Pengaruh Internet Terhadap Plagiarisme”. http://edukasi.kompasiana.com/2014/04/24/.
Diakses tanggal 6 Oktober 2014
TUGAS AKHIR
PENULISAN AKADEMIK
Wahyu kustiningsih, M.A dan Desintha Dwi
A, M.A
1 komentar:
mantab gan.
.
.
salam semangat
http://www.kabartebo.top/2015/12/membakar-bangku-bekas-milik-sekolah.html
Posting Komentar